ST PETERSBURG - Rusia dikabarkan kehilangan puluhan miliar dolar potensi keuntungan, dari perjanjian perdagangan senjata dengan Libya. Kerugian ini disebabkan kesepakatan pembelian senjata antara Rusia dengan Moammar Khadafi yang gagal total.
Kejatuhan Khadafi tentunya membuat kerugian besar bagi Rusia. Mereka kehilangan klien potensial dari persenjataan yang diproduksi saat ini.
Sebagai eksportir senjata terbesar nomor 2 dunia, Rusia dilaporkan menderita kerugian sebesar USD4 miliar atau sekira Rp35,8 triliun (Rp8.952 per USD), akibat perdagangan senjata mereka dengan Libya dibatalkan.
"Angka USD4 miliar atau Rp35,8 triliun hanya sebuah nominal. Kerugian sebenarnya bisa mencapai puluhan miliar dolar," jelas Kepala Kerja Sama Teknis dan Militer Rusia Mikhail Dmitriyev seperti dikutip Reuters, Jumat (4/11/2011).
"Dapat dipastikan kami menderita kerugian besar. Kami tidak memiliki kontak dengan pemerintahan baru Libya (dalam bidang keamanan)," jelasnya.
Selama ini Moskow selalu dikritik oleh beberapa diplomat akibat sikap ambigu mengenai krisis yang terjadi di Libya. Mereka tidak menunjukan dukungan kepada pemerintahan sementara Libya saat ini dan membiarkan militer barat turut campur dalam konflik di Libya.
Hal ini bahkan menimbulkan perdebatan dalam elit di Rusia. Bahkan Presiden Dmitry Medvedev dan Perdana Menteri Vladimir Putin terlibat dalam perdebatan publik yang jarang sekali terjadi di antara keduanya.
Kerugian Rusia ini memang berkaitan dengan perjanjian pembelian senjata Rusia oleh Pemerintah Khadafi pada 2010 lalu. Tetapi embargo senjata yang diterapkan kepada Libya menyebabkan mereka mengalami kerugian hingga Rp35,8 triliun.
Pemerintah Rusia pun mengirimkan senjata kepada Khadafi dalam bentuk senapan dan roket yang digunakan kepada kelompok pasukan Dewan Transisi Nasional (NTC), yang melakukan perlawanan kepada Khadafi.
Tetapi setelah NTC meraih kemenangan dari Khadafi dan membunuh mantan penguasa Libya tersebut, perjanjian pembelian senjata tersebut sepertinya batal.
Rusia memang mendukung resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang memberikan sanksi kepada Khadafi dan pemerintahannya. Tetapi Rusia memilih abstain atas resolusi DK PBB yang memutuskan intervensi militer terhadap Libya.
Negeri Beruang Merah itu memang memiliki banyak kepentingan terhadap Libya. Mulai dari pertukaran aset antara perusahaan minyak Italia ENI dengan perusahaan minyak Rusia Gazprom, hingga pendistribusian minyak mentah Rusia yang melalui wilayah Libya.
SUMBER
Kejatuhan Khadafi tentunya membuat kerugian besar bagi Rusia. Mereka kehilangan klien potensial dari persenjataan yang diproduksi saat ini.
Sebagai eksportir senjata terbesar nomor 2 dunia, Rusia dilaporkan menderita kerugian sebesar USD4 miliar atau sekira Rp35,8 triliun (Rp8.952 per USD), akibat perdagangan senjata mereka dengan Libya dibatalkan.
"Angka USD4 miliar atau Rp35,8 triliun hanya sebuah nominal. Kerugian sebenarnya bisa mencapai puluhan miliar dolar," jelas Kepala Kerja Sama Teknis dan Militer Rusia Mikhail Dmitriyev seperti dikutip Reuters, Jumat (4/11/2011).
"Dapat dipastikan kami menderita kerugian besar. Kami tidak memiliki kontak dengan pemerintahan baru Libya (dalam bidang keamanan)," jelasnya.
Selama ini Moskow selalu dikritik oleh beberapa diplomat akibat sikap ambigu mengenai krisis yang terjadi di Libya. Mereka tidak menunjukan dukungan kepada pemerintahan sementara Libya saat ini dan membiarkan militer barat turut campur dalam konflik di Libya.
Hal ini bahkan menimbulkan perdebatan dalam elit di Rusia. Bahkan Presiden Dmitry Medvedev dan Perdana Menteri Vladimir Putin terlibat dalam perdebatan publik yang jarang sekali terjadi di antara keduanya.
Kerugian Rusia ini memang berkaitan dengan perjanjian pembelian senjata Rusia oleh Pemerintah Khadafi pada 2010 lalu. Tetapi embargo senjata yang diterapkan kepada Libya menyebabkan mereka mengalami kerugian hingga Rp35,8 triliun.
Pemerintah Rusia pun mengirimkan senjata kepada Khadafi dalam bentuk senapan dan roket yang digunakan kepada kelompok pasukan Dewan Transisi Nasional (NTC), yang melakukan perlawanan kepada Khadafi.
Tetapi setelah NTC meraih kemenangan dari Khadafi dan membunuh mantan penguasa Libya tersebut, perjanjian pembelian senjata tersebut sepertinya batal.
Rusia memang mendukung resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang memberikan sanksi kepada Khadafi dan pemerintahannya. Tetapi Rusia memilih abstain atas resolusi DK PBB yang memutuskan intervensi militer terhadap Libya.
Negeri Beruang Merah itu memang memiliki banyak kepentingan terhadap Libya. Mulai dari pertukaran aset antara perusahaan minyak Italia ENI dengan perusahaan minyak Rusia Gazprom, hingga pendistribusian minyak mentah Rusia yang melalui wilayah Libya.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar